Minggu, 12 Juni 2011

Inilah realita di wilayah benteng virtual Indonesia





Ada satu ungkapan bernada canda di kalangan masyarakat Entikong yang sebenarnya ”menyindir” tajam pemerintah. Pejabat hingga warga Entikong tak pernah bosan menyampaikannya dalam perbincangan ringan hingga kata sambutan kepada tamu.
”Rasanya tidak ada pejabat yang tidak pernah mampir ke Entikong. Tapi, tak juga ada kemajuan di daerah ini. Cuma malaikat yang belum mampir ke Entikong.”
Yang mendengar tak kuasa menahan tawa. Namun, secepat kilat tawa itu juga bisa berubah jadi rasa kasihan dan geram.
Bagi guru-guru Sejarah dan Geografi se-Indonesia yang terpilih dalam program Kemah Wilayah Perbatasan Entikong (Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat)-Malaysia yang diprakarsai Direktorat Geografi Sejarah, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, beberapa waktu lalu, kondisi serambi muka Indonesia yang ”suram” itu terasa mengenaskan. Dan, kenyataan itu mesti tersampaikan kepada siswa mereka bahwa daerah perbatasan tak pernah dianggap halaman muka negara yang seharusnya indah, tetapi justru jadi bagian belakang yang tak terurus.
Warga Entikong menanti ”malaikat” yang bisa menyediakan infrastruktur, seperti jalan, alat transportasi, listrik, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai untuk menghalau keterisolasian dan keterbelakangan. Sebab, mereka cuma bisa gigit jari jika membandingkan dengan kondisi warga di perbatasan Malaysia yang keadaannya bertolak belakang dengan warga Indonesia di perbatasan kedua negara serumpun itu.
Suharna, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Entikong, mengatakan, Entikong juga menanti ”malaikat” yang berpihak pada kemajuan pendidikan di sini. Bagaimana tidak timbul rasa iri jika di depan mata, mereka melihat sebuah sekolah pendidikan dasar di perbatasan Malaysia punya siswa 120 orang, tetapi disediakan 15 guru dan satu tenaga administrasi.
Siswa kelas III SD saja sudah kenal internet. Selain itu, ada asrama untuk siswa dari desa.
Di SMPN 4 Entikong yang berjarak 8 kilometer dari Kecamatan Entikong, siswa diajar guru-guru yang tidak sesuai kualifikasinya. Suharna mengatakan, ada lulusan SMA yang dijadikan guru honor untuk mengajar Bahasa Inggris dan Kesenian. Setiap guru mengajar dua-tiga mata pelajaran.
Kepala Desa Suruh Tembawang Imran Manuk mengatakan, di daerahnya ada satu guru yang harus mengajar 111 siswa SD. Warga yang hendak ke Entikong mesti lewat jalur sungai sekitar 8 jam dengan biaya bisa mencapai Rp 1,5 juta.
Desa itu berpenduduk 2.795 orang. Sebanyak 963 orang buta huruf, tidak tamat SD 689 orang, tamat SD (917), SLTP (113), SLTA (102), diploma (10), dan sarjana (1).
Budi Suri, guru SMPN 2 Suruh Tembawang, berkisah, 73 siswa di sekolah itu belajar teori teknologi informasi dan komunikasi. Namun, siswa tidak pernah melihat komputer.
Aliran listrik pun belum dinikmati warga. Sekolah ini cuma punya satu peta Kalimantan Barat dan bola dunia.
Ada satu ungkapan bernada canda di kalangan masyarakat Entikong yang sebenarnya ”menyindir” tajam pemerintah. Pejabat hingga warga Entikong tak pernah bosan menyampaikannya dalam perbincangan ringan hingga kata sambutan kepada tamu.
”Rasanya tidak ada pejabat yang tidak pernah mampir ke Entikong. Tapi, tak juga ada kemajuan di daerah ini. Cuma malaikat yang belum mampir ke Entikong.”
Yang mendengar tak kuasa menahan tawa. Namun, secepat kilat tawa itu juga bisa berubah jadi rasa kasihan dan geram.
Bagi guru-guru Sejarah dan Geografi se-Indonesia yang terpilih dalam program Kemah Wilayah Perbatasan Entikong (Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat)-Malaysia yang diprakarsai Direktorat Geografi Sejarah, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, beberapa waktu lalu, kondisi serambi muka Indonesia yang ”suram” itu terasa mengenaskan. Dan, kenyataan itu mesti tersampaikan kepada siswa mereka bahwa daerah perbatasan tak pernah dianggap halaman muka negara yang seharusnya indah, tetapi justru jadi bagian belakang yang tak terurus.
Warga Entikong menanti ”malaikat” yang bisa menyediakan infrastruktur, seperti jalan, alat transportasi, listrik, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai untuk menghalau keterisolasian dan keterbelakangan. Sebab, mereka cuma bisa gigit jari jika membandingkan dengan kondisi warga di perbatasan Malaysia yang keadaannya bertolak belakang dengan warga Indonesia di perbatasan kedua negara serumpun itu.
Suharna, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Entikong, mengatakan, Entikong juga menanti ”malaikat” yang berpihak pada kemajuan pendidikan di sini. Bagaimana tidak timbul rasa iri jika di depan mata, mereka melihat sebuah sekolah pendidikan dasar di perbatasan Malaysia punya siswa 120 orang, tetapi disediakan 15 guru dan satu tenaga administrasi.
Siswa kelas III SD saja sudah kenal internet. Selain itu, ada asrama untuk siswa dari desa.
Di SMPN 4 Entikong yang berjarak 8 kilometer dari Kecamatan Entikong, siswa diajar guru-guru yang tidak sesuai kualifikasinya. Suharna mengatakan, ada lulusan SMA yang dijadikan guru honor untuk mengajar Bahasa Inggris dan Kesenian. Setiap guru mengajar dua-tiga mata pelajaran.
Kepala Desa Suruh Tembawang Imran Manuk mengatakan, di daerahnya ada satu guru yang harus mengajar 111 siswa SD. Warga yang hendak ke Entikong mesti lewat jalur sungai sekitar 8 jam dengan biaya bisa mencapai Rp 1,5 juta.
Desa itu berpenduduk 2.795 orang. Sebanyak 963 orang buta huruf, tidak tamat SD 689 orang, tamat SD (917), SLTP (113), SLTA (102), diploma (10), dan sarjana (1).
Budi Suri, guru SMPN 2 Suruh Tembawang, berkisah, 73 siswa di sekolah itu belajar teori teknologi informasi dan komunikasi. Namun, siswa tidak pernah melihat komputer.
Aliran listrik pun belum dinikmati warga. Sekolah ini cuma punya satu peta Kalimantan Barat dan bola dunia.

Sumber :  http://entikong.web.id/pendidikan-di-entikong-2

0 komentar:

Posting Komentar